Kamis, 26 Januari 2012

Self identity as Chinese Indonesian and Positive Life Attitudes

Self identity as Chinese Indonesian and Positive Life Attitudes 
(Poster session; The Second International Conference of Indigeneous & Cultural Psychology, Denpasar, Bali - Indonesia, 21, 22, 23 December, 2011)


Kurnia Setiawan, S. Sn., M. Hum
Dra. Ninawati, MM

     Each individual is born with specific traits that make him a unique one. These traits show the self identity of each individual. Self identity refers to the self acknowledgment  being  someone. It is also self identity that makes someone being treated specially or being discriminated. In Indonesia, the Chinese Indonesians often get discrimination from others, who are non Chinese Indonesians. This research is about the Chinese Indonesians who regardless being discriminated they still want to do something meaningful and develop this country, carrying their identity as Chinese Indonesian. They deal with many areas of interests, including social and politics.  The research design is qualitative. The method used was in-depth interview. The subjects were chosen by purposive sampling methods, with 8 total subjects, aged 20-40 years old. The result of this research shows that all subjects had experienced being discriminated, directly or indirectly. Nevertheless, they still show the spirit of life and have positive life attitudes.

Keywords: self identity, positive life attitudes, Chinese Indonesian


PENDAHULUAN
Terbukanya kesempatan secara luas untuk etnis Tionghoa, maka berbagai peranan mereka dalam kehidupan masyarakat juga dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, menjadi wajarlah jika individu akan mengembangkan identitas dirinya melalui peranan yang berarti dalam masyarakat. Mengacu pada pengalaman individu dalam peranan dan prestasi yang diakui oleh  masyarakat, muncullah pertanyaan bagaimana pengembangan identitas diri pada etnis Tionghoa? Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia adalah etnis terbesar sebagai etnis pendatang di Indonesia. Keberadaannya telah diperhitungkan dan diikutsertakan dalam berbagai kegiatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Keterlibatan etnis Tionghoa dapat dilihat dari segi politik, ekonomi, sosial, seni, olah raga.

KAJIAN TEORI
     Dalam teori-teori personality dikenal  learning theories. Salah satunya adalah social cognitive theory dari Bandura (dikutip dalam Feist & Feist, 2006). Ada beberapa asumsi dasar dalam teori ini. Pertama, ciri individu yang menonjol adalah plastisitas (plasticity). Dengan plastisitas ini manusia mampu belajar fleksibilitas dalam situasi yang berbeda-beda. Asusmsi kedua melalui triadic reciprocal causation model (perilaku, lingkungan dan  faktor personal), individu memperoleh kemampuan untuk membentuk dunianya. Melalui cara-cara yang relatif konsisten individu mengevaluasi lingkungan sosial dan budayanya. Ketiga, manusia mampu melakukan kontrol atas lingkungan dan kualitas hidup mereka. Keempat, manusia mengatur perilakunya melalui faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah lingkungan fisik dan sosial, sementara faktor internal adalah evaluasi diri, penilaian-penilaian dan reaksi-diri. Kelima, ketika individu ada dalam situasi ambiguitas moral maka biasanya akan diikuti oleh aneka penyesuaian. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa identitas diri (personality) individu adalah “sesuatu” yang secara aktif terbentuk dalam diri individu (yang memiliki plastisitas dan berharap beroleh reward) dalam model relasi ”triadic” itu (perilaku, lingkungan dan faktor personal).
     Etnis Tionghoa dapat didefinisikan sebagai anggota etnis berdarah/keturunan Cina yang lahir di Indonesia. Sehubungan dengan ”triadic” dari model yang dikemukakan oleh Bandura (dikutip dalam Feist & Feist, 2006), lebih lanjut Dawis (2010) menunjuk relasi yang kompleks jika menyangkut identitas diri atau jati diri etnis Tionghoa, terutama menyoroti ”lingkungan” (salah satu dari ”triadic” itu).
     Menurut Maslow (dalam Kotler & Keller, 2009), semua orang termotivasi oleh apa yang disebut sebagai “basic need”. Maslow membagi need itu dalam 5 tingkatan. Paling rendah adalah physiological need, meliputi kebutuhan akan makanan, minuman, oksigen. Setelah physiological ini terpenuhi, seseorang akan termotivasi untuk need yang lebih tinggi, yakni safety need, meliputi kebutuhan keamanan fisik, stabiltas, bebas dari perang, teror, sakit. Setelah itu, love and belongingness, meliputi kebutuhan untuk berteman, menikah dan punya anak, menjadi bagian dari keluarga, tetangga, atau bahkan bangsa. Need yang lebih tinggi dari ”love and belongingness” adalah esteem needs. Maslow membedakan kebutuhan ini dalam 2 kategori, yakni reputasi dan self esteem. Reputasi terkait dengan prestige, pengakuan (recognation), dan anggapan orang lain atas apa yang dicapai seseorang. Self esteem lebih bersifat keinginan untuk mencapai sesuatu dengan lebih sempurna lagi. Misalnya, ke”master”an (menjadi master), menjadi lebih kompetens, menjadi lebih percaya diri, independent, dan bebas. Sementara need yang tertinggi adalah apa yang dikenal sebagai “self actualization”. Ini meliputi self-fulfillment (rasa keterpenuhan diri), realisasi dari semua potensi yg dimiliki seseorang. Jika need ini dirasakan terpenuhi, maka seseorang akan “enjoy” dengan dirinya. Bahkan, menurut Maslow, dengan self actualization ini merasa terpenuhi, maka dengan sendirinya “self esteem” akan terpelihara.
     Berdasarkan apa yang dikemukakan Maslow di atas, maka “prestasi” adalah sesuatu yang berkaitan dengan esteem needs dan self actualization need. (Apalagi) Maslow juga menyatakan, bahwa selain need (yang hirarkial itu), masih ada juga “need” yang lain, yakni aesthetic, cognitive and neurotic needs. Aesthetics terkait dengan kebutuhan yang terkait dengan seni (keindahan). Cogitive terkait dengan keingintahuan. Ini terkait dengan kesehatan jiwa seseorang.

METODE PENELITIAN
     Desain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan melibatkan delapan orang subyek penelitian. Subyek penelitian yang bertindak sebagai partisipan dipilih dengan metode purposive sampling, yaitu subyek yang dinilai memiliki prestasi dalam lingkungannya. Berdasarkan usia ditentukan subyek berusia 20-40 tahun (dalam perkembangan dewasa awal).
      Penelitian ini dilakukan di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek). Instrumen penelitian yang digunakan adalah: alat perekam gambar, alat perekam suara, peralatan tulis, dan keperluan pelengkapnya. Analisis data dilakukan dengan verbatim transkripsi untuk hasil penelitian yang dilakukan dengan in depth interview. Hasil verbatim transkripsi ini kemudian dibuatkan analisis dan refleksi pada masing-masing subyek.

HASIL PENELITIAN
     Pengalaman yang tidak menyenangkan dan pengalaman yang menyenangkan (berkesan) dalam kehidupan mereka sedikit atau banyak memengaruhi kondisi mereka saat berkarya. Semua subyek mempunyai pengalaman tidak menyenangkan sebagai seorang warga keturunan Tionghoa. Pengalaman tersebut ada yang terjadi pada masa kanak-kanak dan ada juga pada masa remaja.
    Pengalaman akan diterima dan masuk ke dalam memori ketika penglaman itu dianggap istimewa baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Biasanya pengalaman yang menyenangkan jika dibandingkan dengan pengalaman tidak menyenangkan, maka pengalaman tidak menyenangkan lebih membekas. Gambaran ini terlihat jelas dari tanggapan semua subyek yang terkesan memebrikan jawaban pendek-pendek saja. Subyek 1 mengungkapkan pengelaman menyenangkan:  “selama ikut organisasi PMKRI”. Sementara itu pada subyek 2, pengalaman menyenangkan terjadi karena bertemu dengan banyak orang. Pengalaman subyek 3 adalah: “Kalau ada teman yang menerima saya, saya tak perlu merasa didiskriminasi”. Subyek 4 mempunyai pengalaman ketika terlibat di jaringan mitra perempuan (JMP). Sementara itu subyek 5, 6, 7 dan 8 memperoleh pengalaman yang menyenangkan ketika menampuh pendidikannya, walaupun pada subyek 8 justru diperolehnya ketika sekolah di luar negeri.
     Pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat tentunya akan membentuk diri seseorang. Pengalaman bersosialisasi inilah yang diungkapkan oleh para subyek, baik di lingkungan tempat tinggal yang membaur dengan masyarakat pribumi maupun ketika bersekolah dengan mayoritas pribumi. Pengalaman agak berbeda terjadi pada subyek 8 yang selama berada di Indonesia merasa lingkungannya adalah masyarakat Tionghoa, tetapi setelah sekolah di Amerika baru bergaul dengan masyarakat Inodnesia pribumi.
     Motivasi setiap orang ketika terlibat dalam kegiatan akan berbeda-beda. Subyek 1 merasa motivasi berkembang dari waktu ke waktu. Subyek 2 merasa adanya tantangan dari ligkungan politik yang digelutinya. Subyek 3 merasakan adanya penerimaan dari orang lain. Subyek 4 dan subyek 5 menemukan motivasinya ketika kuliah. Subyek 6, 7 dan 8 menemukan motivasi karena melihat ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya.


PENUTUP
Simpulan
    Berdasarkan hasil penelitian, semua partisipan mengalami diskriminasi secara langsung maupun tidak langsung. Semua menyadari identitas mereka sebagai etnis Tionghoa, melalui pengalaman mereka dalam keluarga maupun dibentuk oleh sikap masyarakat kepada mereka. Meskipun begitu mereka tetap bersikap positif dan merasa memiliki serta menjadi bagian dari bangsa Indonesia melalui kontribusi mereka di berbagai bidang.
    Para partisipan memilih untuk berperan menembus streotipe etnis Tionghoa yang selama ini dikenal, biasa bergerak di jalur bisnis/berdagang/pengusaha. Perlakukan buruk ataupun sikap diskriminasi yang dialami tidak menyurutkan motivasi mereka untuk berperan memilih terjun di bidang tertentu. Mereka mempunyai kesamaan dalam hal semangat untuk berkarya dengan sepenuh hati di bidangnya masing-masing dan memperoleh pengakuan bagi diri mereka maupun dari masyarakat. 
Interaksi dengan berbagai orang/kelompok melalui keterlibatan mereka mengikis kecurigaaan dan memperoleh penerimaan dari berbagai pihak. Sikap dan perilaku mereka dilandasai pemahaman bahwa semua orang sederajat dan mereka mempunyai kesadaran identitas diri yang berbeda dengan lingkunganya tetapi mereka ada menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Diskusi
     Masyarakat majemuk seperti Indonesia, bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan dan kebudayaan sukubangsanya secara horizontal, tetapi juga secara vertikal atau jenjang menurut kemajuan ekonomi, teknologi, dan organisasi sosial-politiknya. Tanpa disadari oleh banyak orang Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat Indonesia terdapat golongan dominan dan minoritas. Etnis Tionghoa adalah minoritas meskipun sebagai etnis terbesar di antara etnis pendatang di Indonesia. Interaksi yang terjadi antara dua etnis yang berbeda budaya dapat menimbulkan konflik, namun tidak jarang pula justru terjalin baik karena peranan yang berarti bagi masyarakat sekitarnya. Adapun untuk para partisipan penelitian, mereka telah berhasil menjalin komunikasi, kerjasaman dan berkarya nyata di bidangnya masing-masing. Mulai dari seorang ibu rumah tangga yang meluangkan waktunya untuk mengkoodinir beasiswa bagi anak-anak yang tidak mampu, penari, peneliti, sampai dengan direktur LSM perburuhan.
     Melalui aktivitas mereka, para partisipan memperoleh “self actualization”. Ini meliputi self-fulfillment (rasa keterpenuhan diri), realisasi dari semua potensi yang dimiliki seseorang. Menurut Maslow, dengan self actualization ini merasa terpenuhi, maka dengan sendirinya “self esteem” akan terpelihara. Para partisipan menyukai pekerjaan mereka dan mereka mempunyai prestasi yang dapat dibanggakan. “Prestasi” adalah sesuatu yang berkaitan dengan esteem needs dan self actualization need (Maslow).

Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan agar penelitian dilanjutkan dengan partisipan dari kelompok usia berbeda ataupun dengan memilih lokasi yang berbeda. Koordinasi dan jaringan orang muda/ kelompok Tionghoa yang saat ini ada perlu tetap dijalankan, termasuk dengan memperluas kerjasama dengan berbagai kelompok lain sehingga muncul keterlibatan aktif antar invidu maupun organisasi guna menciptakan Indonesia yang multikultur.
    Kepada para subyek  yang terlibat dalam penelitian agar meneruskan karya mereka sebagai wujud kontribusi konkrit kepada masyarakat di bidang masing-masing, melepas sekat-sekat diskriminasi untuk bersama-sama mengembangkan Indonesia yang lebih baik.
   
DAFTAR PUSTAKA
Dawis, A. (2010). Orang Indonesia Tionghoa mencari Identitas (Maria Elvire Sundah, penerj). Jakarta:
            Gramedia Pustaka Utama (Karya asli diterbitkan tahun 2009)
Feist, J. & Feist, G.J. (2006). Theories of Personality (6th ed.). New York: McGraw-Hill.
Gunarsa, S.D (2000). Konseling dan psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Izzo, J. (2008). Temukan lima rahasia sebelum mati. (Arif Subiyanto, penerj). Jakarta:
           Cahaya Insan Suci.
Kotler, P. & Keller, K.L. (2009). Marketing management (13th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Suparlan (2001). Kesukubangsaan dan posisi orang Cina dalam masyarakat majemuk Indonesia. Jurnal
            Antropologi Indonesia vol 23 no 58, hlm 13-20.
Suryadinata, L. (2003). Etnik Tionghoa, pribumi Indonesia dan kemajemukan: Peran negara, sejarah dan
           budaya dalam hubungan antaretnis. Jurnal Antropologi Universitas Indonesia
Susetyo, B.DP. (2002). Krisis identitas Cina di Indonesia. Psikodimensia no 2 vol 1 th 2001/2002
Wallace, W.A. (1993). Theories of personality: A basic issues approach. New York:
           Allys & Bacon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar